Para pencari keadilan yang tergabung dalam Lembaga Bantuan Hukum Serikat Rakyat Indonesia (LBH Serindo) meminta Presiden Joko Widodo mengevaluasi kinerja Penegakan Hukum selama setahun Kabinet Indonesia Maju Jilid II ini.
Khususnya di Kejaksaan dan Kepolisian, proses penegakan hukum dinilai mengalami kemunduran drastis. Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum Serikat Rakyat Indonesia (LBH Serindo), Bob Humisar Simbolon mengatakan, adalah hal yang wajar untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja Jaksa Agung Republik Indonesia Dr Sanitiar Burhanuddin dalam satu tahun ini.
Bob Humisar menuturkan, dalam satu tahun belakangan ini banyak kejanggalan dan peristiwa yang mencoreng wajah Korps Adhyaksa. Hal itu juga menunjukkan kinerja yang belepotan dan minim prestasi.
“Wajar jika para pencari keadilan meminta Presiden Joko Widodo melakukan evaluasi kinerja Penegakan Hukum dalam satu tahun ini. Terkhusus untuk Kejaksaan Agung dan Kepolisian Republik Indonesia. Seperti jaksa, kasus Jaksa Pinangki Sirna Malasari sudah sangat mencoreng Korps Adhyaksa. Selain itu, kasus-kasus publik yang menumpuk, dan bahkan diulur-ulur, menunjukkan kinerja kejaksaan masih belum memperlihatkan prestasi. Malah mundur. Berantakan kok,” tutur Bob Humisar Simbolon, di Jakarta, Sabtu (31/10/2020).
Apalagi, lanjut Bob, peristiwa kebakaran yang menimpa Gedung Utama Kejaksaan Agung, masih menyisakan berbagai prediksi ketidakadilan.
Kemudian, penanganan sejumlah kasus korupsi di Kejaksaan, seperti kasus Jiwasraya, kasus BRI dan lain sebagainya, menunjukkan betapa kinerja Kejaksaan Agung kali ini masih jauh dari harapan masyarakat pencari keadilan.
Oleh karena itu, menurut Bob, aneh rasanya jika ada lembaga atau pihak-pihak yang mencoba melambung-lambungkan prestasi dan kinerja Jaksa Agung ST Burhanuddin.
“Dalam kasus Djoko S Tjandra misalnya, Jaksa Pinangki kan terungkap membawa-bawa nama petinggi Kejaksaan Agung, dan Jaksa Agung sendiri. Meskipun berupaya diklarifikasi tidak benar, namun masyarakat pencari keadilan melihat, tidak ada proses memeriksa dugaan keterlibatan para petinggi Korps Adhyaksa itu kan,” bebernya.
Lagi pula, lanjut Bob, perlu juga dibuka dan umumkan ke publik secara transparan kinerja Kejaksaan Agung dan jaksa-jaksa di daerah.
Sebab, lanjutnya, dari berbagai laporan maupun keluhan para pencari keadilan dari sejumlah daerah, malah tidak sedikit oknum jaksa yang malah menyelewengkan penegakan hukum itu sendiri.
“Seperti kasus pemerasan yang dilakukan oknum jaksa terhadap 64 Kepala Sekolah SMP di Provinsi Riau, itu kan menunjukkan betapa kinerja kejaksaan agung masih sangat jauh dari harapan publik,” jelasnya.
Lagi pula, penindakan terhadap oknum jaksa yang menyelewengkan hukum belum terlihat. Malah hanya sekelas sanksi administratif, atau sanksi penurunan pangkat.
“Belum ada dalam satu tahun kinerja Jaksa Agung Burhanuddin ini, ada jaksa yang terbukti bersalah dijatuhi sanksi pidana dan pemecatan. Jaksa Pinangki aja masih diulur-ulur dan berupaya dicari sela untuk melindungi pelaku lainnya,” beber Bob.
Jika belakangan ini, kata Bob, kejaksaan juga berupaya mempublikasi penangkapan-penangkapan Daftar Pencarian Orang (DPO) lewat Program Tangkap Buron (Tabur), hal itu tidak berarti menunjukkan prestasi sesungguhnya.
“Sebab, sudah sangat nyata, buronan sekelas Djoko S Tjandra sendiri malah dibiarkan, untung saja terungkap. Dan sayangnya, ada pula keterlibatan oknum jaksa dalam upaya meloloskan buronan Djoko S Tjandra itu. Demikian pula dengan buronan-buronan kakap lainnya, enggak ada yang ditangkapi. Yang ditangkap hanya buronan-buronan cere,” jelas Bob.
Jadi, Bob menambahkan, dari penelusuran dan evaluasi obyektif terhadap kinerja Kejaksaan Agung, wajar jika para pencari keadilan mendorong Presiden Joko Widodo untuk mengevaluasi Jaksa Agung.
“Cobalah dievaluasi secara obyektif dan faktual. Jangan karena ada kepentingan sedikit, lantas begitu mudahnya mengatakan kinerja Jaksa Agung sudah oke dan berprestasi. Enggaklah. Buka mata dan hati nurani, kinerja penegakan hukum setahun ini masih jauh dari harapan publik kok. Wajar jika para pencari keadilan juga meminta kepada Presiden Joko Widodo untuk mengevaluasi Jaksa Agung Burhanuddin,” tuturnya.
Meskipun, kata dia lagi, kepentingan politik dan para cukong, maupun para mafia hukum sangat tinggi kepada posisi jabatan Jaksa Agung itu, namun Presiden Joko Widodo diharapkan bisa melakukan evaluasi yang obyektif.
“Soal pergantian atau reshuffle kabinet, termasuk Jaksa Agung, memang itu hak prerogratif Presiden. Silakan Presiden sendiri yang melakukan atau tidak,” tandas Bob Humisar Simbolon.(RGR)