Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM) menyatakan, proses pengadilan terhadap pengusutan kasus pelanggaran HAM berat pada Tragedi Semanggi I dan Semanggi II harus dilanjutkan.
Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik menyikapi Putusan PTUN Jakarta yang mengabulkan Permohonan Penggugat Korban Tragedi Semanggi I dan Semanggi II, yang menggugat Jaksa Agung Republik Indonesia Dr ST Burhanuddin, yang tertuang pada Putusan Nomor 99/G/TF/2020/PTUN.JKT tertanggal 04 November 2020.
“Kita harapkan Jaksa Agung menindaklanjuti kasus Semanggi I dan II ke tingkat penyidikan,” tutur Ahmad Taufan Damanik, Kamis (12/11/2020).
Dia berharap, Kejaksaan Agung tidak melakukan manuver-manuver lagi setelah adanya putusan PTUN Jakarta atas Tragedi Semanggi I dan II itu.
“Langkah selanjutnya ya di Jaksa Agung. Kami hanya bisa mendorong, baik langsung ke Jaksa Agung mau pun meminta Presiden, untuk memastikan Jaksa Agung melakukan tahapan penyidikan. Kami juga meminta Presiden mengambil langkah pemulihan kepada keluarga korban,” tuturnya.
Karena itu, Komnas HAM juga ingin menunggu niat baik Jaksa Agung Republik Indonesia, untuk taat dan melaksanakan putusan PTUN Jakarta tersebut.
“Jadi kita sangat senang dan berharap Jaksa Agung bisa segera menindaklanjuti putusan pengadilan ini, dengan mengambil langkah penyidikan dari hasil penyelidikan Komnas HAM tersebut,” lanjut Ahmad Taufan Damanik.
Jaksa Agung, lanjutnya, juga harusnya mampu menangkap harapan publik dan harapan para pencari keadilan, yang mendesak agar kasus-kasus pelanggaran HAM berat seperti pada Tragedi Semanggi I dan II itu, segera dituntaskan.
“Itu harapan keluarga korban mau pun publik. Agar penegakan hukum atas dugaan pelanggaran HAM yang berat kasus Semanggi I dan II dapat dituntaskan,” imbuhnya.
Sebenarnya, bagi Ahmad Taufan Damanik, kemauan menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat itu yang belum terlihat dari Pemerintah, terutama dari Kejaksaan Agung.
Dia mengatakan, jika ada kemauan, maka penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat itu tidak akan sulit dilakukan.
“Soal hambatan silahkan ditanya ke Jaksa Agung. Kami tak melihat ada hambatan, yang penting adanya kemauan,” ujarnya.
Meski begitu, katanya, Komnas HAM sendiri siap duduk bareng untuk mengusut persoalan pelanggaran HAM berat itu, bersama Kejaksaan Agung, Menkopolhukam, maupun dengan DPR.
“Kami siap untuk duduk membahas bila langkah progresif mau diambil, baik dengan Jaksa Agung, Komisi III juga dengan Menko Polhukam,” ujar Ahmad Taufan Damanik.
Persoalan yuridis, seperti keterangan saksi-saksi dan bukti-bukti yang sering dijadikan persoalan, menurutnya, sudah tidak ada masalah berarti.
“Tidak ada masalah itu, soalnya ada kemauan atau tidak saja,” tandas Ahmad Taufan Damanik.
Pengajuan permohonan banding Jaksa Agung Republik Indonesia Dr Sanitiar Burhanuddin melalui Jaksa Pengacara Negara (JPN) sudah dilakukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta (PTUN) pada Senin, 09 November 2020.
Kejaksaan Agung menilai, Putusan PTUN Jakarta itu tidak benar. Karena Kejagung mengklaim ada banyak kesalahan yang dilakukan majelis hakim PTUN Jakarta dalam memeriksa dan mengadili perkara tersebut.
Alasan yang disampaikan Kejaksaan Agung, pertama, pernyataan Jaksa Agung yang menjadi obyek sengketa tidak termasuk perbuatan konkret penyelenggaraan negara.
Pernyataan Jaksa Agung bahwa tragedi Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat adalah penyampaian informasi. Adapun pernyataan itu disampaikan Jaksa Agung saat rapat dengan Komisi III DPR pada Januari 2020.
Kemudian, kedua orangtua korban Tragedi Semanggi I dan II yang mengajukan gugatan dinilai tidak memiliki kepentingan dengan pernyataan Jaksa Agung.
Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung (Jamdatun) Feri Wibisono menyebut, para penggugat, yakni orangtua korban, memiliki kepentingan penanganan perkara, tetapi terkait dengan jawaban di DPR tadi yang bersangkutan tidak memiliki kepentingan.
Majelis hakim juga dinilai telah mengabaikan bukti video rekaman rapat kerja dengan Komisi III DPR.
Feri menyebut, dalam rekaman video itu, Jaksa Agung tidak menyampaikan kalimat: “Seharusnya Komnas HAM tidak menindaklanjuti karena tidak ada alasan untuk dibentuknya pengadilan ad hoc, berdasarkan hasil rekomendasi DPR RI kepada Presiden untuk menerbitkan Keppres Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc sesuai Pasal 43 Ayat 2 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM”.
Padahal, kalimat tersebut masuk dalam obyek perkara. Selain itu, hakim dinilai lalai karena tidak menjelaskan peraturan mana yang dilanggar oleh Jaksa Agung.
Menurutnya, Hakim memformulasikan berdasarkan keyakinannya saja, tanpa alat bukti yang memadai, dan lalai tidak melaksanakan kewajibannya membuat pertimbangan yang benar berkaitan perbuatan pelanggaran hukum mana yang dilanggar Jaksa Agung sehingga dikategorikan sebagai cacat substansi.
Atas pertimbangan itu, Jaksa Pengacara Negara (JPN) selaku kuasa Jaksa Agung mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Sebelumnya, PTUN Jakarta mengabulkan gugatan keluarga korban Tragedi Semanggi I dan II terhadap Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin.
Majelis hakim menyatakan, pernyataan Jaksa Agung bahwa tragedi Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat sebagai perbuatan melawan hukum.
Selain itu, majelis hakim juga mewajibkan Jaksa Agung membuat pernyataan terkait penanganan kasus Semanggi I dan II sesuai keadaan sebenarnya dalam rapat dengan Komisi III DPR berikutnya.
Terakhir, majelis hakim menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp 285.000.
Adapun pihak keluarga korban yang melayangkan gugatan yaitu Maria Katarina Sumarsih, ibunda almarhum Bernardinus Realino Norma Irmawan, dan Ho Kim Ngo, ibunda almarhum Yap Yun Hap.
Bernardinus Realino Norma Irmawan merupakan mahasiswa yang menjadi korban dalam peristiwa Semanggi I, 13 November 1998.
Sementara itu, Yap Yun Hap adalah mahasiswa UI yang meninggal saat peristiwa Semanggi II, 24 September 1999.(RGR)