Asosiasi Petani Sawit Minta Presiden Jokowi Lanjutkan Moratorium Sawit

    Para petani kelapa sawit yang tergabung dalam Perkumpulan Forum Kelapa Sawit Jaya Indonesia (Popsi) menyurati Presiden Joko Widodo. Mereka meminta kepada Presiden untuk melanjutkan moratorium sawit. 

    Moratorium Sawit itu dirasakan sebagai upaya menyejahterakan petani kecil. Asosiasi Petani Sawit yang bernaung dalam Perkumpulan Forum Kelapa Sawit Jaya Indonesia (Popsi) menyampaikan 8 poin penting dalam surat mereka yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo. 

    Ketua Umum Perkumpulan Forum Kelapa Sawit Jaya Indonesia (Popsi), Pahala Sibuea mengatakan, Presiden Joko Widodo perlu melanjutkan moratorium sawit, guna keberlangsungan pembangunan juga. 

    “Kami dari Asosiasi Petani Sawit meminta kepada Presiden Republik Indonesia agar moratorium sawit dilanjutkan. Ini demi kesejahteraan petani kecil, dan menjaga martabat sawit Indonesia di dunia internasional terkait pembangunan berkelanjutan,” tutur Pahala Sibuea, dalam siaran pers yang diterima, Sabtu (26/06/2021). 

    Asosiasi Petani Sawit  itu sendiri adalah gabungan dari sejumlah organisasi sawit, yakni Perkumpulan Forum Kelapa Sawit Jaya Indonesia (Popsi), yang terdiri dari Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Perjuangan, Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perusahaan Inti Rakyat (Aspekpir), Jaringan Petani Sawit Berkelanjutan Indonesia (JaPSBI). 

    Pahala Sibuea melanjutkan, dengan menyurati Presiden Jokowi, mereka berharap agar Inpres No 8 tahun 2018 tentang evaluasi izin dan peningkatan produktivitas atau Moratorium Sawit, diperpanjang. 

    Menurut Asosiasi Petani Sawit, Moratorium Sawit masih sangat diperlukan. Untuk memperbaiki rantai pasok petani sawit yang masih panjang, penyelesaian sawit dalam kawasan hutan, perbaikan pada produktivitas masih rendah, mempercepat penyelesaian legalitas petani, pemetaan dan pendataan petani swadaya baik dalam Areal Penggunaan Lain (APL) maupun dalam kawasan. 

    Juga untuk mendorong kepatuhan perusahaan dalam alokasi 20% bagi masyarakat belum direalisasikan. 

    “Masyarakat menunggu dan menunggu, percepatan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) juga belum terlaksana,” ujarnya. 

    Pahala Sibuea menjelaskan, dengan total luasan perkebunan sawit Indonesia mencapai 16,38 juta saat ini, produksi Crude Palm Oil (CPO) setiap tahunnya mengalami over stock, yakni CPO di kisaran 4,5 juta hingga 5 juta ton per tahun. 

    “Untuk itu moratorium sawit harus dilanjutkan, demi menge-rem pembukaan lahan baru perkebunan sawit,” lanjut Pahala. 

    Dia menyebut, Pemerintah seharusnya fokus saja pada peningkatan produktivitas petani sawit. Salah satunya melalui program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). 

    “PSR ini sudah tepat dilakukan. Setelah PSR, petani diperkirakan bisa memiliki produktivitas 20 hingga 25 ton per hektar Tandan Buah Segar atau TBS, per tahunnya,” ungkapnya. 

    Yang sebelumnya hanya di kisaran 10 sampai 15 ton per tahunnya. Artinya, kata dia, akan ada tambahan produksi sawit Indonesia yang cukup signifikan dari petani. 

    Sedangkan apabila moratorium sawit tidak ada, maka walau pun ada program PSR, dikhawatirkan akan terjadi boom lompatan produksi CPO yang akan menambah over stock di tahun 2023 mendatang. 

    “Mungkin menjadi dua kali lipat dari over stock setiap tahunnya. Bila hal ini tidak diantisipasi tentunya akan membawa dampak besar terhadap petani sawit. Salah satunya, akan membuat harga TBS petani ke depan bisa turun drastis. Dan bahkan bisa jadi Pabrik Kelapa Sawit (PKS) milik pengusaha tidak akan menerima TBS dari petani,” beber Pahala Sibuea. 

    Sementara itu, Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (Sekjen SPKS), Mansuetus Darto mengatakan, selama moratorium sawit 3 tahun terakhir, belum ada akselerasi penyelesaian legalitas petani sawit. Baik di Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB) maupun sertifikat tanah milik petani pada areal penggunaan lainnya. 

    Bahkan, lanjut Mansuetus Darto, pengurusan STDB sangat sulit. Padahal secara regulasi, STDB merupakan kewajiban Pemerintah. 

    “Tidak adanya pemetaan petani swadaya, pemetaan petani swadaya by name by address, belum dilakukan selama fase moratorium sawit. Ini menyulitkan bagi penyusunan data base petani sawit secara Nasional. Dan menyulitkan penyelesaian masalah petani swadaya, terutama untuk peremajaan sawit mau pun penyelesaian legalitas petani sawit,” tandas Mansuetus Darto. 

    Sedangkan Ketua Umum Jaringan Petani Sawit Berkelanjutan Indonesia (JaPSBI), Heri Susanto menyampaikan, Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Moratorium Sawit. 

    “Karena erat kaitannya dengan peningkatan produktivitas,” ujarnya. 

    Saat ini, lanjut Heri, Pemerintah sedang menggencarkan Program PSR. PSR harus menjadi pintu masuk pembinaan perusahaan kepada petani di sekitarnya. 

    “Petani jangan dibiarkan sendiri. Perusahaan bisa masuk melakukan pembinaan untuk memastikan petani mendapat benih unggul, sarana produksi dan standar teknis perkebunan yang benar,” jelasnya. 

    PSR juga harus menjadi pintu masuk pembenahan kelembagaan petani. Selain itu, dana PSR yang di anggarkan Pemerintah harus mencukupi. 

    “Dari pembangunan P0 sampai P3 atau sekitar 50-60 juta rupiah per hektar,” ujar Heri. 

    Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia Perjuangan (Apkasindo Perjuangan), H Alpian Arahman menilai, Moratorium Sawit diperlukan agar ada fokus dari pelaku usaha perkebunan di Indonesia. Khususnya pelaku perkebunan  besar, dalam memperbaiki produktivitas kebun. 

    “Maupun perbaikan kebun para petani sekitarnya sebagai pemasok, termasuk pembangunan kemitraan dengan petani swadaya,” ujar Alpian Arahman. 

    Selain itu, tanpa Moratorium Sawit, petani tidak akan berubah kondisinya, sebab mereka akan selalu menjual hasil produksinya ke tengkulak dengan harga yang mereka tentukan. 

    “Moratorium akan mendorong perusahaan perkebunan harus bermitra dengan petani swadaya secara berkelanjutan. Hal ini harus diperkuat dalam skema moratorium yang baru,” tandas Alpian. 

    Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perusahaan Inti Rakyat (Aspekpir) Setiyono menyebut, Moratorium Sawit ini diperlukan apalagi tahun 2025, sesuai dengan Perpres 44 tentang Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), petani itu wajib mengikuti ISPO. 

    Dengan demikian, kelanjutan moratorium sangat relevan, agar semua pihak terkait bergotong royong memperkuat sawit rakyat pada sisi kelembagaan tani. 

    “Juga memperkuat kapasitas budidaya maupun legalitas petani. Sehingga ada persiapan yang dilakukan oleh petani sebelum ISPO diberlakukan secara tetap,” ujar Setiyono. 

    Untuk itu, Asosiasi Petani Sawit  itu sendiri adalah gabungan dari sejumlah organisasi sawit, yakni Perkumpulan Forum Kelapa Sawit Jaya Indonesia (Popsi) meminta kepada Presiden Joko Widodo, untuk melanjutkan memperpanjang Inpres No 8 tahun 2018 tentang moratorium. 

    Selain itu, mereka juga meminta ketegasan beberapa hal dalam melanjutkan  Moratorium Sawit. Yakni: Satu, secara bersama berhenti melakukan deforestasi dan optimalkan kerja sama dengan petani swadaya, melalui peningkatan produktivitas petani dan pembelian langsung ke petani. 

    Dua, melakukan penanganan rendahnya harga jual dengan menghilangkan biaya ekonomi tinggi di lapangan. Dan menjadikan petani swadaya menjadi salah satu sumber pasokan Program Pemerintah, seperti B30, secara transparan dan berkelanjutan. 

    Tiga, membantu petani kelapa sawit swadaya untuk pemetaan, revitalisasi kelembagaan, dan legalisasi lahan. Dengan upaya ini, petani akan memperoleh ISPO dan sawit rakyat Indonesia ada kepastian legalitas, untuk menjadi bagian sustainable palm oil. 

    Empat, kejelasan dan kepastian data, kelembagaan dan legalitas akan memudahkan petani mengakses pendanaan baik dari lembaga keuangan dan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). 

    Lima, Kementerian/Lembaga terkait agar dapat membantu petani swadaya dalam mengambil bagian dari revitalisasi perkebunan kelapa sawit. 

    Sebagai ilustrasi, BPDPKS membantu pendanaan dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) membantu penyertifikatan, sebagai bagian dari program reformasi agraria.  

    Dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk penyelesaian tumpang tindih lahan petani swadaya dengan kawasan hutan.  

    Serta, Kementerian Pertanian melakukan Pendataan Bersama Dinas Perkebunan Kabupaten, serta melakukan penguatan Sumber Daya Manusia (SDM) Petani Sawit secara luas. 

    Enam, para pihak memberikan dukungan untuk berkolaborasi bersama petani swadaya Indonesia. Dengan prinsip kemitraan yang adil dan berkelanjutan, serta menyejahterakan petani. 

    Tujuh, mempertimbangkan ulang besaran pungutan sawit yang diregulasikan oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia dan dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), agar tidak menggerus harga TBS di tingkat petani plasma maupun petani swadaya. 

    Semestinya, perlu memperhatikan aspirasi para petani sawit yang terasosiasi dalam POPSI sebab pungutan sawit sebesar 175-250 dolar Amerika  per ton Crude Palm Oil (CPO) akan menggerus harga Tandan Buah Segar (TBS) di tingkat petani, secara tajam. 

    Delapan, pendanaan peremajaan sawit rakyat untuk meningkatkan produktivitas perkebunan, harus didukung 100% pembiayaannya dari BPDP-KS dengan prosedur birokrasi pendanaan yang mudah dan transparan. 

    Selain itu, perusahaan mitra yang menjadi off taker diberi wewenang, atau diharuskan menyediakan bibit bagi kelompok tani dan koperasi yang menjadi mitra binaan, agar bibit yang digunakan berkualitas. 

    Dana PSR bagi petani seharusnya cukup untuk biaya mulai Po sampai P3, tergantung kondisi lahan re-planting, baik lahan mineral atau gambut. 

    Perkumpulan Forum Kelapa Sawit Jaya Indonesia (Popsi) adalah gabungan dari organisasi petani sawit di Indonesia, beranggotakan Apkasindo Perjuangan, Aspekpir, Japsbi dan SPKS. 

    Popsi dibentuk dengan misi memperkuat posisi petani sawit, serta mendukung Program Pemerintah, seperti percepatan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), serta peningkatan Sumber Daya Manusia Petani Sawit (SDM Petani Sawit). Anggota Popsi saat ini tersebar di 24 Provinsi.(RGR)

    Komentar Facebook